AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

Standar
  1. Definisi Ahlussunah Waljama’ah

Ahlussunnah wal jama’ah terdiri dari tiga kata yaitu:Ahlun berarti keluarga atau golongan. As-Sunnah berarti ucapan , tingkah laku dan ketetapan Nabi Muhammad s.a.w dan Al-Jama’ah berarti kumpulan atau kelompok. Ahlussunnah wal jama’ah berarti golongan atau orang-orang yang selalu setia mengikuti dan berpegang teguh pada jejak langkah Rasulullah SAW sebagaimana yang dipraktikkan bersama para sahabatnya.

Ahlus Sunnah Waljama’ah identik dengan ma ana ‘alaihi wa ashabi” seperti apa yang dijelaskan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi, Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa “Bani israil terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah manjadi 73 golongan, kesemuanya masuk neraka kecuali satu golongan”. Kemudian para sahabat bertanya, “ Siapakah mereka itu wahai Rasulallah?” Lalu Rasulullah menjawab, “mereka itu adalah ma ‘ana ‘alaihi wa ashabihi”.[1]

Dalam  hadis tersebut Rasulullah SAW. Menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah golongan yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah dan para Sahabatnya.

Disebutkan dalam sumber lain bahwa:

Rasulullah jualah yang menjelaskan bahwa umat Muhammad Saw. Akan berpecah belah menjadi 73 golongan dan semuanya akan masuk neraka, kecuali yang satu ini ! Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab:

من كان على مثلى ما انا عليه اليوم و اصحبي

Man kana ‘ala mitsli maa ana ‘alaihil yauma wa ashaabi” yang artinya: “Siapapun yang menyerupai pegangan ku dan para sahabatku pada hari ini.”

Maka barang siapa yang iktikadnya menyamai Rasulullah Saw. Dan para sahabatnya, maka selamatlah dia dari adzab Allah dan akan masuk surga. Oleh karenanya kelompok ini disebut Alfirqotun Najiyah (kelompok yang selamat).[2]

Menurut saya, jika melihat dari sumber-sumber yang telah tersebut diatas maka ahlussunnah waljama’ah adalah suatu golongan yang senantiasa mengikuti dan berpegang teguh pada sunnah rasul dan juga apa yang ada pada sahabat-sahabatnya. yang mana golongan tersebut kembali pada ajaran islam yang sesungguhnya.

Dengan demikian kaum ahlus sunnah waljamaah ialah orang-orang yang mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dan mengikuti jejak para sahabat beliau, tidak hanya para sahabat khulafaur raasyidin yang empat (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) tetapi juga mengikuti jejak para sahabat para sahabat yang lainnya, seperti saidati Aisyah ra. Ibnu Abbas, Abu Huraira dan lain-lainnya.

2. Lahirnya Ahlussunnah waljama’ah berikut tokoh-tokohnya

Alussunnah waljamaah adalah aliran teologi dalam islam yang timbul karena reaksi terhadap paham-paham golongan mu’tazilah. Paham mu’tazilah disebarkan pertama kali pada 100 H/ 718 M oleh washil bin ata’ yang mendapat pengaruh dalam masyarakat. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada masa kholifah abbasiya, yaitu Al-ma’mum (198-218 H / 813-833 M), Al- mu’tasim (218-228 H / 833-842 M), dan A-wasiq (228-233 H / 842-847 M). pengaruh in semakin kuat ketikah aliran mu’tazila dijadikan mahzhab resmi yang di anut negara pada masa kholifah Al- ma’mum pada tahun 287.

kholifah Al-ma’mum menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Melaksanakn pemaksaan paham mu’tazilah pada seluruh jajaran pemerintahannya, bahkan seluru masyarakan islam. Dalam peristiwa ini banyak para ulama’ yang menjadi panutan masyarakat menjadi korbanpenganiayaan. Misalnya, Ahmad Bin Hanbal (Imam Hanbali). Karena sikap kuat dan konsistennya dalam mempertahankan prinsip bahwa al-qur’an bukan makhluk sebagaimana yang dianut oleh paham mu’tazilah.akan tetapi tindakan kholifah terhadap para ulama’ justru tidak mendapat simpati dari umat islam. Bahkan melihat kekejaman kholifah justru menimbulkan antipasti terhadap pemerintahan dan paham mu’tazila. Sikap Ahman bin Hanbal secara tegas dihadapan penguasa dan mendapat simpati dari masyarakat. Kholifah tidak berani menjatuhkan hukuman terhadah Ahmad bin Hanbal karena pengikutnya sangat luas,jika hukuman itu dilaksanakan maka akan terjadi kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Sebagaian besar ummat justru mendukung ketika kholifah Al-mutawakkil membatalkan paham mu’tazilah sebagai paham resmi negara.

Dalam keadaan yang demikian muncul tokoh intelektual dan para ulama besar islam Abu Hasan Al Asy’ari dengan teologi baru yaitu Ahlus Sunnah Waljama’ah yang berusaha menguraikan aqidah islamiyah sesuai dengan tingkat kemampuan ummat denagn tetap menjaga kemurnian ajaran islam yang sesuai dengan sunnah nabi dan para sahabatnya.  Al-Asy’ary. Awalnya teologi baru ini dikenalkan dengan Asy’ariyah atau al-Asy’ary. Paham yang dikembangkan oleh Al- Asy’ary banyak yang berbeda dengan paham –paham Mu’tazilah sekalipun Al-Asy’ary sendiri mulanya murid terpandai Al- Jubai’l,seorang tokoh mu’tazilah.

Selain itu, di Samarkand lahir teori baru yang didirikan oleh  bernama Abu Mansur Al-Maturidi.kemudian aliran teologi ini dikenal dengan nama Maturidiyah. Di Bukhara, Mauridiyah didirikan oleh Muhammad Al-Bazdawi. Namun antara kedua aliran teologi Maturidiyah tersebut ada perbedaan dalam beberapa paham. Aliran maturidiyah samarknad agak liberal dan lebih dekat dengan Mu’tazilah. Sedangkan maturidiyah Bukhara barsifat tradisional dan lebih dekat dengan Asy’ariyah.kedua aliran ini kemudian dikenal dengan golongan Ahlus Sunnah Waljamah.teologi Asy’ariya dianut oleh ImamMalik, Imam Syafi’I, Imam hanbali serta pengikut mereka

Ahlus Sunnah Waljamaah dinisbatkan pada aliran teologi Asy’aryah dan Maturidiyah karena mereka berpegang kuat pada sunnah nabi dan merupakan kelompok mayoritas dalam masyarakat. Istilah Ahlus Sunnah Waljamaah oleh Asy’ary juga disebut sebagai Ahl al- Haqq wa as-Asunnah dalam kitabnya yang berjudul  Maqalat al-islamiyyin (berisi tentang aliran-aliran teologi dan pandangan dalam islam).dala kitab lain, al ibanah (penjelasan), istilah ini mempergunakan kata-kata Ahl al- Haqq wa as-Asunnah.namun dari semua itu pemakainan yang lebih popular adalah Ahlus Sunnah Waljama’ah.[3]

  1. Ajaran-ajaran dalm Ahlussunnahn Waljama’ah.
  • Ajaran yang disepakati kebenarannya:
  • Ajaran yang disepakati sebagai penyimpangan:
  1. Ajaran Islam diambil dari Al-Qur’an, Hadist Nabi serta ijma’ (kesepakatan para sahabat/Ulama)
  2. Sifat-sifat Allah seperti Sama’, Bashar dan Kalam merupakan sifat-sifat Allah yang Qodim.
  3. Tidak ada yang menyerupai Allah baik dzat, sifat maupun Af’alnya.
  4. Allah adalah dzat yang menjadikan segala sesuatu kebaikan dan keburukan termasuk segala perbuatan manusia adalah kehendak Allah, dan segala sesuatu yang terjadi sebab Qodlo’ dan Qodharnya Allah.
  5. Perbuatan dosa baik kecil maupun besar tidaklah menyebabkan orang muslim menjadi kafir sepanjang tidak mengingkari apa yang telah diwajibkan oleh Allah atau menghalalkan apa saja yang diharamkan-Nya.
  6. Mencintai para sahabat Rasulullah merupakan sebuah kewajiban, termasuk juga meyakini bahwa kekhalifahan setelah Rasulullah secara berturut-turut yakni sahabat Abu Bakar Ash-shiddiq, Umar Bin Khattab, Ustman Bin ‘Affan dan Sayyidina ‘Ali Bin Abi Thalib.
  7. Bahwa Amar ma’ruf dan Nahi mungkar merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim termasuk kepada para penguasa.
  1. Mengingkari kekhalifahan Abu Bakar Ash-shiddiq dan Umar Bin Khattab kemudian menyatakan bahwa Sayyidina Ali Bin Abi Thalib memperoleh “Shifatin Nubuwwah” (sifat-sifat kenabian) seperti wahyu, ‘ismah dan lain-lain.
  2. Menganggap bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam seperti yang dianut oleh kalangan Khawarij, bahkan mereka mengkafirkan Sayyidina Ali karena berdamai dengan Mu’awiyah.
  3. Perbuatan dosa betapapun besarnya tidaklah menjadi masalah serta tidak menodai iman. Pendapat ini merupakan pendapat kaum murji’ah dan Abahiyyun.
  4. Melakukan pena’wilan terhadap Nash Al-Qur’an maupun Hadist yang tidak bersumber pada kaidah-kaidah Bahasa Arab yang benar. Seperti menghilangkan sifat-sifat ilahiyyah (Ta’thil) antara lain menghilangkan Al-Yad, Al-Istiwa’, Al-Maji’ padahal disebut secara sarih (jelas) dalah ayat suci Al-Qur’an, hanya dengan dalih untuk mensucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih)
  1. Pemikiran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

 

  1. Menempatkan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber inspirasi akidah dan sebagai bahan argumentasi atas segala macam bantahan yang datang. Maka dapat diartikan, bahwa Al-Qur’an maupun Hadits sebagai dasar metodologi berhujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah).
  2. Meletakkan tekstual nash (Dhawahur An Nushus) yang masih mungkin membutuhkan interpretasi dan masuk dalam kategori tasybih, tanpa harus dipaksakan masuk dalam tasybih secara murni. Dalam hal ini mempunyai dampak atau konsekuensi logis, bahwa ia tidak bisa lepas dari sebuah pemahaman kalau Allah mempunyai wajah, akan tetapi sangat berbeda dengan wajah semua mahkluk-Nya. Demikian pula mempunyai tangan yang tidak sama dengan tangan makhluk-nya.
  3. Memperbolehkan berhujjah dalam hal akidah, meskipun bersumber dari hadits-hadits ahad. Sebagai bukti, bahwa sebenarnya hadits ahad pun sah-sah saja sebagai pedoman. Secara tegas ia menjelaskan, betapa banyak hadits-hadits ahad yang dijadikan rujukan akidah (tentunya hadits ahad yang sahih).

[1] Ma’ruf Amin, Kerangka Berpikir Ahlussunnah Waljama’ah.hal.16

[2] Irfan Hilmy, Modernisasi Pesantren,Nuansa hal 4.

[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklpedi Islam, Cetakan Kesebelas, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 2003, hal 54

Tinggalkan komentar